::RUMAH::HOME::HUIS::منزلL::MAISON::CASA::家::Дом::
Sabtu, 16 April 2011
Sabtu, 05 Maret 2011
Surat Untuk Teman
Teman…
Tempat berbagi atas apapun: sepotong kue, seteguk air, sesuap nasi, sebatang rokok, sepeser uang, serangkaian cerita baik atau buruk, segengam harapan, secercah semangat, secuplikan tawa canda atau duka cita, gagasan, pikiran dan apapun dalam suasana santai, serius, berapi-api, tak bersemangat, lelah, letih, kecewa, bergelora dan dalam suasana apapun itu. Berbagai itu sudah aku lakukan dengan beberapa orang yang dari hati aku panggil mereka teman, atau beberapa aku panggil sahabat.
Bukan masalah apakah dia sifatnya cocok atau tidak denganku, pantas atau tidaknya menjadi temanku, atau masih berguna atau tidak untukku. Bukan masalah itu, atau malah itu tidak pernah menjadi masalah untukku. Yang terpenting adalah temanku orang yang mempunyai pandangan, ide dan gagasan yang menarik untukku, mempunyai kepribadian yang unik, dan lebih dari itu bisa berbagi mengenai apapun dalam kondisi apapun.
Seorang teman, sudah sejak lama menjadi teman diskusiku untuk membicarakan masalah kemanusiaan, masalah perempuan, masalah kemiskinan, masalah sehari-hari mengenai kekecewaan atas yang terjadi di dunia ini dan juga pasti mengenai cinta. Diskusi yang jauh dari kata berbobot mungkin, tapi setidaknya cukup berarti bagi kami.
Sudah lama kami tidak berbicara banyak untuk berdiskusi semenjak temanku bekerja di wilayah utara Jakarta, yang mengharuskannya harus tinggal disana agar tak buang waktu dalam perjalanan. Sebelum itu, setidaknya kita meluangkan waktu untuk berdiskusi mengenai posisi perempuan sebagai pekerja, mengenai pekerjaan dan tenaga kerja.
Masih terekam dikepala ini saat obrolan singkat di warung bakso mengenai budak-budak kapitalis yang keluar dari mulut salah satu diantara kami. Menggambarkan posisi kita dalam sebuh pekerjaan sebagai hamba sahaya modal-modal yang begitu rimba dan tidak bisa keluar dari hutanya. Saat kami masih mengalami masa-masa kontrak sebagai pekerja yang dengan gampang dibuang begitu saja, seperti popok anak sekali pakai.
Dalam obrolan warung bakso malang, sempat pula kami diskusi mengenai pendidikan negeri ini. Kebetulan temanku bekerja pada perusahaan konsultan dalam bidang pengembangan SDM. Saat itu ia sedang melakukan pengembangan SDM beberapa sekolah di dareah. Pengalamannya yang dibagi secara spontan membuat kritikan itu muncul dari kami berdua. Biaya pendidikan yang dianggarkan cukup besar, tapi apakah permasalahan akan selesai dangan sebatas pemberian dana yang besar? System pengajaran merupakan salah satu yang digaris bawahi oleh kami.
Dan banyak diskusi di tempat lain dengan pembicaraan topik beragam. Tapi setidaknya kami mempunyai keyakinan bahwa kami harus berbuat sesuatu untuk Negara ini untuk bangsa ini, setidaknya untuk masyarakat atau sekitar kami. Itu salah satu cita-cita kami, hanya suatu janji untuk diri kita masing-masing.
Aku sangat ingat bahwa temanku berkata, bahwa ia akan mempunyai sekolah sendiri, dengan sistemnya sendiri, dimana anak-anak bangsa yang masih muda itu agar dapat didik dengan baik. Diajarkan dengan baik agar mereka menjadi apa yang mereka inginkan, bukan yang kita inginkan, bukan yang lain inginkan, atau yang temanku inginkan, tetapi menjadi apa yang anak-anak itu inginkan. Yang nantinya akan menjadi penerus yang baik, yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan Indonesia. Sebuah cita-cita besar dan sungguh nyata untuknya dan untukku, setidaknya dia saat itu sudah memulai mengajarkan beberapa anak sekitarnya menjadi sebuah nama yang dia sebut homeschooling. Tetapi terpaksa harus ditinggalinya semenjak ia bekerja di wilayah utara Jakarta dan itu sangat disesalinya pula.
Temanku telah memberikan contoh konkrit dan nyata akan cita-cita untuk berbuat sesuatu. Saat pikiranku dan cita-cita serupa masih mengawang-awang. Diman suatu karya agung hanya dalam keinginan, temanku sudah berbuat lebih dari sekedar keinginan. Termotivasi tentunya.
Setelah kurang lebih satu tahun lamanya, ia berkantor di utara Jakarta suatu berita aku dapat. Karena jarak yang jauh, serta kondisi utara Jakarta yang tidak nyaman membuat ia tidak kerasan bekerja disana, dan kemudian berhenti.
Di minggu itu, aku semangat untuk memulai lagi obrolan dan diskusi atau setidaknya berbagi cerita saja yang sudah lama tidak kami lakukan. Ada dua berita dari temanku dan mengagetkanku. Pertama, setelah tak lagi bekerja di utara Jakarta, ternyata temanku sudah mempunyai pekerjaan baru, sebagai cpns institusi penelitian nasional. Suatu tempat kerja yang cukup bagus dan hebat menurut kami. Kedua, dalam satu bulan mendatang ia akan melangsungkan akad nikah. Wow… dua berita yang mengagetkan dan menggembirakan sekali.
Berita ini bukan disembunyikan dariku sehingga aku baru tahu kali ini. Sudah sebulan sebelumnya beberapa panggilan telepon tak terjwab darinya tidak aku hiraukan, tetapi lebih tepatnya terpaksa aku tidak hiraukan karena ketidak sempatan atau kelupaan untuk menelpon balik. Pada panggilan telepon-telepon tak terjawab itulah dia ingin mengabari 2 berita baik itu.
Obrolan dan diskusi kamipun seperti dahulu, langsung mengalir. Tentunya dimulai dengan dua berita menggembirakan tersebut secara detail. Mengenai pekerjaan barunya secara mendalam, dan tentu saja uraian jelas mengenai lamaran, persiapan akad nikah, sampai pada hal-hal kecil seperti cetak undangan atau souvenir pernikahan.
Dalam percakapan itu, dalam suatu bagian dia berucap sesuatu yang membuat aku tertegun sejenak.
“Ya… besok-besok kalau nanti kita ada acara nginap-nginap mungkin gw gak ikutan lagi”
Kira-kira begitulah kalimatnya yang mengartikan bahwa selanjutnya dia tidak akan sebebas seperti waktu lalu sebelum menikah. Sungguh aku tertegun saat mendengar kalimat itu. Suatu perasaan bertahun-tahun mengenai dirinya yang begitu kokoh, bersemangat dan sesorang yang tindakan telah nyata terpaksa menjadi hilang sesaat ia mengucapan kata itu. Mulut ini tidak sanggup berucap mengatakan
“Hey teman, kita masih bebas dalam keadaan apapun, jika kita menginginkan itu. Jangan kau kekang dirimu karena pernikahan, terlalu berharga ide-ide atau gagasanmu untuk kau tahan atau kau kubur begitu saja.”
Sedih sekali mendengar kalimatnya. Kenapa pernikahan menjadi batasan seorang perempuan untuk melakukan sesuatu. Bukankah telah banyak yang pernah kita diskusikan mengenai perempuan, anak, suami, pekerjaan dan cita-cita. Kawan, terlalu berharga cita-citamu untuk begitu saja kau lupakan.
Kemudian aku berfikir panjang. Dan sanggahan itu muncul pada diri ini. aku hanya berfikir pendek saja tadi. Belum tentu si temanku itu membuang ide, gagasannya, dan cita-citanya. Pikiran itu hanya dugaan buruk yang kurang cukup bukti hanya dengan kata-kata singkat darinya. Dirinya masih kuat dan bersemangat untuk mewujudkan cita-cita untuk berbuat sesuatu untuk sesama. Dirinya sudah amat konkrit berbuat sesuatu dari pada diriku yang sampai saat ini pun masih berbicara saja atau bahkan baru berfikir saja dan entah sampai kapan.
Dan jika memang betul adanya demikian, bahwa dia simpan pikiran ide dan gagasannya, tidak ada salahnya juga. bahwa dia berhak atas apa yang ia pilih dan bebas menentukan apa yang ia mau, termasuk bebas menentukan dirinya sudah tidak sepenuhnya bebas lagi. Tapi setidaknya temanku telah jauh berbuat yang lebih nyata dibanding diriku yang sibuk dalam pikirannya sendiri.
Jakarta, 26 Agustus 2009
Tempat berbagi atas apapun: sepotong kue, seteguk air, sesuap nasi, sebatang rokok, sepeser uang, serangkaian cerita baik atau buruk, segengam harapan, secercah semangat, secuplikan tawa canda atau duka cita, gagasan, pikiran dan apapun dalam suasana santai, serius, berapi-api, tak bersemangat, lelah, letih, kecewa, bergelora dan dalam suasana apapun itu. Berbagai itu sudah aku lakukan dengan beberapa orang yang dari hati aku panggil mereka teman, atau beberapa aku panggil sahabat.
Bukan masalah apakah dia sifatnya cocok atau tidak denganku, pantas atau tidaknya menjadi temanku, atau masih berguna atau tidak untukku. Bukan masalah itu, atau malah itu tidak pernah menjadi masalah untukku. Yang terpenting adalah temanku orang yang mempunyai pandangan, ide dan gagasan yang menarik untukku, mempunyai kepribadian yang unik, dan lebih dari itu bisa berbagi mengenai apapun dalam kondisi apapun.
Seorang teman, sudah sejak lama menjadi teman diskusiku untuk membicarakan masalah kemanusiaan, masalah perempuan, masalah kemiskinan, masalah sehari-hari mengenai kekecewaan atas yang terjadi di dunia ini dan juga pasti mengenai cinta. Diskusi yang jauh dari kata berbobot mungkin, tapi setidaknya cukup berarti bagi kami.
Sudah lama kami tidak berbicara banyak untuk berdiskusi semenjak temanku bekerja di wilayah utara Jakarta, yang mengharuskannya harus tinggal disana agar tak buang waktu dalam perjalanan. Sebelum itu, setidaknya kita meluangkan waktu untuk berdiskusi mengenai posisi perempuan sebagai pekerja, mengenai pekerjaan dan tenaga kerja.
Masih terekam dikepala ini saat obrolan singkat di warung bakso mengenai budak-budak kapitalis yang keluar dari mulut salah satu diantara kami. Menggambarkan posisi kita dalam sebuh pekerjaan sebagai hamba sahaya modal-modal yang begitu rimba dan tidak bisa keluar dari hutanya. Saat kami masih mengalami masa-masa kontrak sebagai pekerja yang dengan gampang dibuang begitu saja, seperti popok anak sekali pakai.
Dalam obrolan warung bakso malang, sempat pula kami diskusi mengenai pendidikan negeri ini. Kebetulan temanku bekerja pada perusahaan konsultan dalam bidang pengembangan SDM. Saat itu ia sedang melakukan pengembangan SDM beberapa sekolah di dareah. Pengalamannya yang dibagi secara spontan membuat kritikan itu muncul dari kami berdua. Biaya pendidikan yang dianggarkan cukup besar, tapi apakah permasalahan akan selesai dangan sebatas pemberian dana yang besar? System pengajaran merupakan salah satu yang digaris bawahi oleh kami.
Dan banyak diskusi di tempat lain dengan pembicaraan topik beragam. Tapi setidaknya kami mempunyai keyakinan bahwa kami harus berbuat sesuatu untuk Negara ini untuk bangsa ini, setidaknya untuk masyarakat atau sekitar kami. Itu salah satu cita-cita kami, hanya suatu janji untuk diri kita masing-masing.
Aku sangat ingat bahwa temanku berkata, bahwa ia akan mempunyai sekolah sendiri, dengan sistemnya sendiri, dimana anak-anak bangsa yang masih muda itu agar dapat didik dengan baik. Diajarkan dengan baik agar mereka menjadi apa yang mereka inginkan, bukan yang kita inginkan, bukan yang lain inginkan, atau yang temanku inginkan, tetapi menjadi apa yang anak-anak itu inginkan. Yang nantinya akan menjadi penerus yang baik, yang bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan Indonesia. Sebuah cita-cita besar dan sungguh nyata untuknya dan untukku, setidaknya dia saat itu sudah memulai mengajarkan beberapa anak sekitarnya menjadi sebuah nama yang dia sebut homeschooling. Tetapi terpaksa harus ditinggalinya semenjak ia bekerja di wilayah utara Jakarta dan itu sangat disesalinya pula.
Temanku telah memberikan contoh konkrit dan nyata akan cita-cita untuk berbuat sesuatu. Saat pikiranku dan cita-cita serupa masih mengawang-awang. Diman suatu karya agung hanya dalam keinginan, temanku sudah berbuat lebih dari sekedar keinginan. Termotivasi tentunya.
Setelah kurang lebih satu tahun lamanya, ia berkantor di utara Jakarta suatu berita aku dapat. Karena jarak yang jauh, serta kondisi utara Jakarta yang tidak nyaman membuat ia tidak kerasan bekerja disana, dan kemudian berhenti.
Di minggu itu, aku semangat untuk memulai lagi obrolan dan diskusi atau setidaknya berbagi cerita saja yang sudah lama tidak kami lakukan. Ada dua berita dari temanku dan mengagetkanku. Pertama, setelah tak lagi bekerja di utara Jakarta, ternyata temanku sudah mempunyai pekerjaan baru, sebagai cpns institusi penelitian nasional. Suatu tempat kerja yang cukup bagus dan hebat menurut kami. Kedua, dalam satu bulan mendatang ia akan melangsungkan akad nikah. Wow… dua berita yang mengagetkan dan menggembirakan sekali.
Berita ini bukan disembunyikan dariku sehingga aku baru tahu kali ini. Sudah sebulan sebelumnya beberapa panggilan telepon tak terjwab darinya tidak aku hiraukan, tetapi lebih tepatnya terpaksa aku tidak hiraukan karena ketidak sempatan atau kelupaan untuk menelpon balik. Pada panggilan telepon-telepon tak terjawab itulah dia ingin mengabari 2 berita baik itu.
Obrolan dan diskusi kamipun seperti dahulu, langsung mengalir. Tentunya dimulai dengan dua berita menggembirakan tersebut secara detail. Mengenai pekerjaan barunya secara mendalam, dan tentu saja uraian jelas mengenai lamaran, persiapan akad nikah, sampai pada hal-hal kecil seperti cetak undangan atau souvenir pernikahan.
Dalam percakapan itu, dalam suatu bagian dia berucap sesuatu yang membuat aku tertegun sejenak.
“Ya… besok-besok kalau nanti kita ada acara nginap-nginap mungkin gw gak ikutan lagi”
Kira-kira begitulah kalimatnya yang mengartikan bahwa selanjutnya dia tidak akan sebebas seperti waktu lalu sebelum menikah. Sungguh aku tertegun saat mendengar kalimat itu. Suatu perasaan bertahun-tahun mengenai dirinya yang begitu kokoh, bersemangat dan sesorang yang tindakan telah nyata terpaksa menjadi hilang sesaat ia mengucapan kata itu. Mulut ini tidak sanggup berucap mengatakan
“Hey teman, kita masih bebas dalam keadaan apapun, jika kita menginginkan itu. Jangan kau kekang dirimu karena pernikahan, terlalu berharga ide-ide atau gagasanmu untuk kau tahan atau kau kubur begitu saja.”
Sedih sekali mendengar kalimatnya. Kenapa pernikahan menjadi batasan seorang perempuan untuk melakukan sesuatu. Bukankah telah banyak yang pernah kita diskusikan mengenai perempuan, anak, suami, pekerjaan dan cita-cita. Kawan, terlalu berharga cita-citamu untuk begitu saja kau lupakan.
Kemudian aku berfikir panjang. Dan sanggahan itu muncul pada diri ini. aku hanya berfikir pendek saja tadi. Belum tentu si temanku itu membuang ide, gagasannya, dan cita-citanya. Pikiran itu hanya dugaan buruk yang kurang cukup bukti hanya dengan kata-kata singkat darinya. Dirinya masih kuat dan bersemangat untuk mewujudkan cita-cita untuk berbuat sesuatu untuk sesama. Dirinya sudah amat konkrit berbuat sesuatu dari pada diriku yang sampai saat ini pun masih berbicara saja atau bahkan baru berfikir saja dan entah sampai kapan.
Dan jika memang betul adanya demikian, bahwa dia simpan pikiran ide dan gagasannya, tidak ada salahnya juga. bahwa dia berhak atas apa yang ia pilih dan bebas menentukan apa yang ia mau, termasuk bebas menentukan dirinya sudah tidak sepenuhnya bebas lagi. Tapi setidaknya temanku telah jauh berbuat yang lebih nyata dibanding diriku yang sibuk dalam pikirannya sendiri.
Jakarta, 26 Agustus 2009
Manusia Harus Menghormati Sesama Manusia
“Manusia harus menghormati hukum.” (Terre, Anggota DPR 2010-2014)
Tertegun sejenak aku mendengar kata-kata itu diucapkan. Mungkin bukan yang pertama kali kalimat tersebut diucapkan. Entah sudah berapa banyak kata-kata itu diucapkan, aku tak sampai mengitungnya. Akan tetapi kali ini aku, sungguh tertegun dengan kalimat tersebut. Merasa janggal dengan kalimat itu.
Kali ini aku berpendapat bahwa manusia harus menghormati manusia lain. Filosofi yang kucerna (yang mungkin jauh dari apa yang serumitnya) bahwa dalam kehidupan ini manusia sebagai mahluk social harus menghormati manusia lain. Dan sudah terjejal dalam otakku sejak kecil untuk menghormati orang lain sesuai dengan porsinya. Sedari taman kanak-kanak aku berangkat ke taman itu dengan mencium tangan kedua orang tuaku, sesampainya di taman kuciumnya tangan seorang yang kupanggil ibu guru. Kemudian saat bermain ku persilakan orang yang mengantri papan seluncur lebih awal untuk menikmati permainan itu. Dan seterusnya, dan seterusnya. Penghormatan terhadap manusia pada porsinya. Tak dilebihkan dan dikurangkan dan semoga semua sesuai dengan kata pas.
Hukum yang disebut diatas adalah salah satu alat untuk menciptakan keharmonisan manusia dengan manusia, sebagai alat untuk mewujudkan tatanan yang diinginkan. Tatanan yang diinginkan bersama, tatanan yang diinginkan sekelompok orang tertentu, maupun tatanan yang diinginkan oleh sang penguasa.
Dalam alam kesosialan manusia yang tidak boleh egois, terhadap dirinya, sesamanya, lingkungannya, maka dibuat suatu perangkat aturan yang mengatur. Yang kelamaan kita sebut itu hukum. Hingga dari itu manusia dan hukum menjadi begitu erat dan saling mengikat. Hukum ada karena manusia, dan manusia ada membutuhkan aturan.
Akan tetapi tetap saja pada prinsipnya menurutku bahwa peraturan pertama bahwa manusia harus menghormati manusia lain. Baru kemudian adanya hukum yang mengatur suatu aturan untuk memenuhi kebutuhan bersama, untuk melindungin tiap-tiap manusia maka kita menjadi harus menghormatinya. Tetapi tetap yang kita hormati adalah manusia.
Jika suatu ketika, hukum dibuat untuk meujudkan tatanan yang diinginkan oleh sekelompok orang tertentu, sementara sekelompok orang yang lainnya tercepit dan teraniaya atas hukum yang demikian adanya, apakah secara naluri kita harus menghomati hukum tersebut?
Orang hukum berkata, walau langit runtuh hukum tetap harus ditegakkan. Tetapi manusia biasa hanya bisa bilang, hukum manakah yang tetap harus ditegakkan? Atau mungkin hukumlah yang membuah langit itu runtuh. Manusia biasa hanya bisa berbicara hormatilah manusia lain, karena manusia biasa ingin dihormati seperti manusia biasa.
Tertegun sejenak aku mendengar kata-kata itu diucapkan. Mungkin bukan yang pertama kali kalimat tersebut diucapkan. Entah sudah berapa banyak kata-kata itu diucapkan, aku tak sampai mengitungnya. Akan tetapi kali ini aku, sungguh tertegun dengan kalimat tersebut. Merasa janggal dengan kalimat itu.
Kali ini aku berpendapat bahwa manusia harus menghormati manusia lain. Filosofi yang kucerna (yang mungkin jauh dari apa yang serumitnya) bahwa dalam kehidupan ini manusia sebagai mahluk social harus menghormati manusia lain. Dan sudah terjejal dalam otakku sejak kecil untuk menghormati orang lain sesuai dengan porsinya. Sedari taman kanak-kanak aku berangkat ke taman itu dengan mencium tangan kedua orang tuaku, sesampainya di taman kuciumnya tangan seorang yang kupanggil ibu guru. Kemudian saat bermain ku persilakan orang yang mengantri papan seluncur lebih awal untuk menikmati permainan itu. Dan seterusnya, dan seterusnya. Penghormatan terhadap manusia pada porsinya. Tak dilebihkan dan dikurangkan dan semoga semua sesuai dengan kata pas.
Hukum yang disebut diatas adalah salah satu alat untuk menciptakan keharmonisan manusia dengan manusia, sebagai alat untuk mewujudkan tatanan yang diinginkan. Tatanan yang diinginkan bersama, tatanan yang diinginkan sekelompok orang tertentu, maupun tatanan yang diinginkan oleh sang penguasa.
Dalam alam kesosialan manusia yang tidak boleh egois, terhadap dirinya, sesamanya, lingkungannya, maka dibuat suatu perangkat aturan yang mengatur. Yang kelamaan kita sebut itu hukum. Hingga dari itu manusia dan hukum menjadi begitu erat dan saling mengikat. Hukum ada karena manusia, dan manusia ada membutuhkan aturan.
Akan tetapi tetap saja pada prinsipnya menurutku bahwa peraturan pertama bahwa manusia harus menghormati manusia lain. Baru kemudian adanya hukum yang mengatur suatu aturan untuk memenuhi kebutuhan bersama, untuk melindungin tiap-tiap manusia maka kita menjadi harus menghormatinya. Tetapi tetap yang kita hormati adalah manusia.
Jika suatu ketika, hukum dibuat untuk meujudkan tatanan yang diinginkan oleh sekelompok orang tertentu, sementara sekelompok orang yang lainnya tercepit dan teraniaya atas hukum yang demikian adanya, apakah secara naluri kita harus menghomati hukum tersebut?
Orang hukum berkata, walau langit runtuh hukum tetap harus ditegakkan. Tetapi manusia biasa hanya bisa bilang, hukum manakah yang tetap harus ditegakkan? Atau mungkin hukumlah yang membuah langit itu runtuh. Manusia biasa hanya bisa berbicara hormatilah manusia lain, karena manusia biasa ingin dihormati seperti manusia biasa.
Sabtu, 05 Juni 2010
Saya bukan seorang filsuf atau sufi atau para petapa sekalipun. Saya hanya suka melihat sesuatu yang terjadi dan terkadang membuat saya sedikit menggunakan isi dari otak kepala. Hanya sedikit berfikir dan merenung mengenai suatu yang terjadi. Suatu yang terjadi yang diberitakan berbagai media, dibicarakan oleh orang banyak, dan memalui segala sesuatu yang saya lihat.
Dunia ini dikatakan adalah terus berputar, dan memang begitu adanya yang saya ketahui melalui pergantiannya bulan dan matahari. Ya, dapat dikatakan hukum asalnya alam dunia ini yang secara harfiah berada dalam perputaran dalam ketidakdiaman dalam pergerakan dalam kedinamisan. Maka ini secara langsung atau tidak membuat segalanya yang ada didunia ini juga akan tidak diam, akan terus berputar, akan terus bergerak, dan akan terus dinamis. Ini yang saya terus yakini dan percayai sebagai dasar sebagai manusia yang menjadi salah satu penghuni dunia di bumi. Bumi, tempat saya berpijak tempat saya bergerak yang dirinya pun sendiri dalam pergerakan.
Bumi yang saya tempati ini tak tahu sebenarnya berapa umurnya, berapa kali dia sudah berotasi, berapa kali dia sudah berevolusi. Dan sampai saat ini tak ada seorang pun yang mengetahuinya, saya kira. Sehingga sudah berapa kali perputaran zaman di bumi ini terjadi tiada yang pernah tahu, perputaran trend di dunia ini pun tak pernah diketahui. Dan zaman serta trend kali ini mungkin saja pernah terjadi di suatu jaman yang lalu di bumi ini.
Dunia ini dikatakan adalah terus berputar, dan memang begitu adanya yang saya ketahui melalui pergantiannya bulan dan matahari. Ya, dapat dikatakan hukum asalnya alam dunia ini yang secara harfiah berada dalam perputaran dalam ketidakdiaman dalam pergerakan dalam kedinamisan. Maka ini secara langsung atau tidak membuat segalanya yang ada didunia ini juga akan tidak diam, akan terus berputar, akan terus bergerak, dan akan terus dinamis. Ini yang saya terus yakini dan percayai sebagai dasar sebagai manusia yang menjadi salah satu penghuni dunia di bumi. Bumi, tempat saya berpijak tempat saya bergerak yang dirinya pun sendiri dalam pergerakan.
Bumi yang saya tempati ini tak tahu sebenarnya berapa umurnya, berapa kali dia sudah berotasi, berapa kali dia sudah berevolusi. Dan sampai saat ini tak ada seorang pun yang mengetahuinya, saya kira. Sehingga sudah berapa kali perputaran zaman di bumi ini terjadi tiada yang pernah tahu, perputaran trend di dunia ini pun tak pernah diketahui. Dan zaman serta trend kali ini mungkin saja pernah terjadi di suatu jaman yang lalu di bumi ini.
Rabu, 31 Maret 2010
Senja itu Fajar
Senja ini aku melihat matahari perlahan turun di barat
Bergerak perlahan untuk bersembunyi dalam dunia yang terlihat
Bergerak sembari menebarkan keindahan serta sendu untuk mahluk di bagian bumi itu
Saat itu aku merasa sudah selesai hari ini
Malam akan menemaniku
Tetapi tidak bagi matahari
dirinya adalah dirinya
yang memberi pagi disaat yang sama di bagian lain
Menjadi fajar yang perlahan naik di Timur
memberi siang pada saat yang sama di belahan lain
memberi sore di samping duniaku
Menjadi senja dan fajar pada waktu bersamaan
Memberi arti pagi setiap penghuni bumi
Sebagai semangat disaat yang sama untuk manusia yang baru terbangun dari pagi
Memberi kobaran terik kepada manusia yang sedang dalam pengarungan hari
Senja yang aku tatap ini adalah fajar bagi manusia lain
Bergerak perlahan untuk bersembunyi dalam dunia yang terlihat
Bergerak sembari menebarkan keindahan serta sendu untuk mahluk di bagian bumi itu
Saat itu aku merasa sudah selesai hari ini
Malam akan menemaniku
Tetapi tidak bagi matahari
dirinya adalah dirinya
yang memberi pagi disaat yang sama di bagian lain
Menjadi fajar yang perlahan naik di Timur
memberi siang pada saat yang sama di belahan lain
memberi sore di samping duniaku
Menjadi senja dan fajar pada waktu bersamaan
Memberi arti pagi setiap penghuni bumi
Sebagai semangat disaat yang sama untuk manusia yang baru terbangun dari pagi
Memberi kobaran terik kepada manusia yang sedang dalam pengarungan hari
Senja yang aku tatap ini adalah fajar bagi manusia lain
Langganan:
Postingan (Atom)